Palu, JapriNews.id — Anggota DPRD Kota Palu dari Fraksi NasDem, Mutmainnah Korona, terus mendorong percepatan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Pendidikan Kebencanaan. Regulasi ini diharapkan rampung dan dapat disahkan pada tahun 2025.
Ranperda yang merupakan inisiatif Fraksi NasDem ini bertujuan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap potensi bencana yang tinggi di wilayah Palu. Mutmainnah, yang akrab disapa Neng, mengungkapkan bahwa wacana penyusunan regulasi ini telah bergulir sejak 2022 dan masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun 2023.
“Ada empat ranperda yang kami ajukan, dua di antaranya menjadi fokus utama yakni Ranperda Pendidikan Kebencanaan dan Ranperda Kota Hijau,” ujar Mutmainnah saat ditemui pada Rabu, 8 Mei 2025.
Namun, karena adanya penundaan beberapa pembahasan perda sebelumnya, Ranperda ini kembali dijadwalkan dalam Propemperda 2024 untuk dibahas pada tahun 2025. Saat ini, Ranperda tersebut masih berada pada tahap awal, dengan proses penunjukan tim penyusun untuk merancang naskah akademik dan draft awal. Setelah itu, akan dilakukan konsultasi publik sebelum dibawa ke Badan Musyawarah dan Paripurna.
Mutmainnah menegaskan bahwa Ranperda ini tidak hanya berfokus pada pelaksanaan simulasi bencana di sekolah, namun juga akan mencakup pelatihan di tingkat kelurahan, komunitas, hingga keluarga di lingkungan RT. Ia mencontohkan keberhasilan Jepang dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui simulasi rutin di tingkat komunitas dan rumah tangga.
Regulasi ini dirancang untuk mengantisipasi empat jenis bencana utama yang sering terjadi di Kota Palu, yakni gempa bumi, tsunami, likuifaksi, dan kebakaran. “Pendidikan kebencanaan harus memiliki kurikulum yang jelas, baik untuk pendidikan formal, nonformal, maupun berbasis komunitas. Simulasi dan edukasi juga harus dilakukan secara rutin,” tegasnya.
Selain itu, Ranperda ini juga mendorong pelestarian situs-situs peninggalan bencana sebagai upaya merawat ingatan kolektif masyarakat. Beberapa lokasi yang diusulkan sebagai situs edukasi dan wisata kebencanaan antara lain Jembatan IV yang runtuh, Masjid Terapung, serta kawasan likuifaksi di Petobo dan Balaroa.
Integrasi kearifan lokal juga menjadi perhatian utama dalam penyusunan regulasi ini. Mutmainnah mencontohkan bagaimana warga Kampung Lere selamat dari bencana gempa dan tsunami 2018 karena mengikuti perilaku hewan yang menjauh dari pantai. “Pengalaman semacam ini perlu diabadikan dalam regulasi, sebagai bentuk edukasi berbasis budaya lokal,” katanya.
Ia menegaskan bahwa meskipun bencana tidak dapat diprediksi, kesiapsiagaan masyarakat dapat meminimalkan risiko. “Yang kita butuhkan bukan kepanikan saat bencana, tetapi kesiapsiagaan. Jika masyarakat tahu jalur evakuasi dan prosedurnya, potensi korban bisa ditekan,” ujarnya.
Mutmainnah berharap Ranperda Pendidikan Kebencanaan dapat segera diselesaikan dan masuk dalam APBD Perubahan 2025, agar implementasinya tidak kembali tertunda.